Salah Kaprah Memahami Makna Kedisiplinan

Caesario Kisty
4 min readDec 31, 2022

--

di·sip·lin n 1 tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dan sebagainya); 2 ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dan sebagainya); 3 bidang studi yang memiliki objek, sistem, dan metode tertentu;

Sewaktu gua kuliah, kata di atas menjadi salah satu nilai yang harus dimiliki oleh lulusannya. Implementasinya, memang, memahami artinya secara tekstual, ga salah sih, kemudian tercipta dikotomi antara Disiplin dan Tidak Disiplin. Sampai point ini, tidak ada yg harus dipersoalkan.

Namun yg menjadi persoalan adalah, ketika pemaknaan Disiplin tersebut, hanya sebatas “agar tidak melanggar aturan” atau yg lebih buruk lagi hanya “agar tidak mendapatkan sanksi”. Kenapa bisa begitu? Karena pada implementasinya terdapat ketidakadilan perlakuan antara yang Disiplin dan Tidak Disiplin. Yang Disiplin, yaa hanya sekedar “good for you” atau “bagus, memang harusnya seperti itu”, sedangkan yang sebaliknya, selalu dicari formulasi yang sedemikian rupa sehingga agar pelakunya jera.

Kenapa kemudian pemaknaan di atas menjadi persoalan? Tentu, karena secara pemaknaan, Disiplin seharusnya berada paling tidak satu level di atas sekedar taat pada aturan. Ironinya “Disiplin” hanya menjadi media untuk menghindari sanksi, yang seharusnya “Disiplin” menjadi media untuk membantu mencapai tujuan.

Kalo premisnya adalah, “Disiplin” harus menjadi media untuk membantu dalam mencapai tujuan, maka implementasi penegakan kedisiplinan yg sudah dijelaskan sebelumnya, akan menjadi kontraproduktif. Disiplin harusnya menjadi sebuah upaya melakukan hal-hal sederhana atau meninggalkan hal-hal yg tidak perlu, yg kemudian sedikit demi sedikit menjadi sebuah kebiasaan, yg beberapa diantaranya relevan dengan upaya pencapaian tujuan. Sehingga, kalau penegakan kedisiplinan masih berorientasi pada pemberian sanksi kepada yg tidak Disiplin, akibatnya bukan kebiasaan yg terbentuk, tetapi mental cari aman. Lalu bagaimana agar yg terbentuk adalah kebiasan secara sadar? Adil rasanya kalau hal2 kewajiban atau aktivitas sederhana juga mendapatkan penghargaan yang sepadan.

Gua jadi inget diskusi tentang Reward and Punishment di Buku yg berjudul “The Discourage to be Dislike” oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga. Detailnya gua ga begitu ingat, dan kebetulan bukunya ada di kampus saat gua menulis ini. Jadi gua nanya OpenAI aja, berikut penjelasannya.

Intinya yg gua pahami, dalam konteks Personal Development, sanksi tidak lah efektif to address the underlying causes or even help someone to learn from their mistakes. Yaa it’s just necessary lahh, hanya untuk ngasih tau kalo setiap pilihan ada konsekuensi nya. Tetapi akan menjadi lebih adil ketika memilih Disiplin juga mendapatkan konsekuensi yang sepadan.

Kemudian, coba liat kebanyakan teknologi atau aplikasi penunjang keseharian saat ini. Misal e-commerce dan online courses, “Gamification”, menjadi metode yang hampir selalu ada di aplikasi2 tersebut. I know right, satu sisi, iya, strategi marketing, customer engagement. Tapi itu kan hilir, lantas hulu nya kenapa sampai mereka menggunakan strategi tersebut, kemungkinan sudah diawali oleh riset dengan mempertimbangkan psikologis manusia modern saat ini. Ya mungkin ini ga secara langsung berkaitan soal Disiplin, tapi relevansinya tentang bagaimana memberikan simple rewarding untuk hal-hal aktivitas sederhana pula. Berikut apa kata OpenAI.

Btw gua bukan pengabdi buta OpenAI. Gua paham OpenAI belum bisa dijadikan referensi yang kredibel dan valid. Namun karena gua paham bagaimana cara kerjanya mereka, mengumpulkan begitu banyak data, yang bersifat netral, mengedepankan demokratisasi ide, tanpa melihat kepentingan. Maka dia cukup untuk dijadikan dasar sebagai common sense.

Okee balik lagi, kalo ngomongin konteks berorganisasi. Kebetulan banget lagi iseng nulis beginian di malam tahun baru 2023, temen gua ngeshare semacam achievement badges yg berkaitan dengan performance nya. Iyaa cuma sesederhana itu aja. Sebuah sistem yang menghargai aktivitas sederhana yang relevan dengan kinerja, tapi di beberapa institusi masih sering disebut “yaa emang itu kewajiban lu”. Sedangkan organisasi yang lebih moderat sudah meninggalkan itu dan melihat bahwa employee engagement itu penting, dan impact nya luar biasa. Ga heran lahh, sistem tersebut yang mengadopsi salah satu perusahaan Big 4 Accounting Firms!

Credit: My Friend Achievement Badges

Sangat disayangkan apabila penegakan kedisiplinan yang timpang seperti ini masih dilestarikan, apalagi mendarah daging jadi tradisi-tradisi yang tentunya nir-esensi dan nir-substansi, serta ironinya justru menjadi kontraproduktif dengan pemaknaan kata Disiplin itu sendiri. Sampai pembahasan ini, gua punya kesimpulan pribadi, bahwa penegakan kedisiplinan yg berorientasi pada pemberian sanksi sudah tidak relevan, dibanding dengan berorientasi pada pemberian penghargaan dan kesempatan. Sederhananya, kalo lu menjalankan tugas-tugas sederhana walaupun itu emang kewajiban lu, you deserved a reward yang sepadan, sedikit demi sedikit menjadi sebuah kebiasaan yang baik buat bantu your dreams come true. Tapi kalo lu underperformed ya sistem bakal bikin lu stuck di situ-situ aja. Sebagai penjelas, pemaknaan orientasi tidak bersifat meniadakan, tetapi bersifat kecenderungan.

--

--